Rabu, 28 April 2010

Otak Manusia Hanya Mampu Lakukan 2 Tugas Sekaligus.

Paris, Mengerjakan banyak hal sekaligus (multitasking) menjadi kebiasaan banyak orang. Tapi mengerjakan lebih dari 2 tugas tidak akan mendapat hasil maksimal, karena otak manusia didesain hanya bisa mengerjakan maksimal 2 tugas sekaligus.

Sebuah penelitian menunjukkan otak bagian korteks prefrontal medial (MFC) akan berbagi separuh-separuh ketika ada dua tugas yang harus dikerjakan bersamaan.

Tapi ketika ada satu tugas lagi yang harus dikerjakan otak akan mengalami kekacauan yang membuat pengerjaan tugas tidak fokus.

"Hasil ini menunjukkan bahwa kita dapat dengan mudah melakukan dua tugas seperti memasak sambil berbicara di telepon. Tapi jika ada lebih dari 2 tugas yang dilakukan, maka yang terjadi adalah timbul kekacauan," ujar peneliti Etienne Koechlin dari Universite Pierre et Marie Curie di Paris, Prancis, seperti dikutip dari LiveScience, Kamis (29/4/2010).

Peneliti melibatkan 32 partisipan yang diberikan tugas dan dilengkapi dengan functional magnetic resonance imaging (fMRI) untuk melakukan scan otaknya.

Peneliti melihat selama diberikan tugas ganda, maka MFC membagi tugas tersebut. Satu belahan otak mengerjakan tugas yang besar dan menunjukkan adanya aktivitas, sedangkan wilayah lain mengerjakan tugas yang lebih kecil.

Kemudian peneliti memberikan satu tugas lagi sehingga ada 3 hal yang harus dikerjakan. Ternyata didapatkan penurunan akurasi dari subjek yang ada. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan dalam jurnal Science.

"Pada dasarnya otak berperilaku seolah-olah setiap lobus frontalis bertugas untuk mengejar tujuannya sendiri. Sehingga masing-masing belahan sibuk mengelola satu tugas dan tidak ada tempat untuk tugas ketiga," ujar Koechlin.

Hasil ini menjelaskan mengapa manusia akan merasa sulit atau membutuhkan waktu yang lama untuk membuat keputusan jika ada lebih dari dua hal yang mendasarinya.

Jika ada tiga atau lebih pilihan, maka subjek cenderung tidak mengevaluasinya secara rasional tapi hanya membuatnya hingga tersisa dua pilihan saja.

Menghindari Suara Serak dan Lemah di Usia Senja.

Hampir sepertiga manusia usia 65 tahun mengalami masalah dengan suaranya seperti serak atau suara lemah. Penting untuk menjaga kemampuan pita suara agar orang lain bisa mendengar suara kita meski sudah lanjut usia.

Seiring bertambahnya usia, maka pita suara dan otot dalam laring akan menjadi lemah. Saat usia senja, pesan dari otak ke kotak suara mungkin tidak seefisien saat masih muda.

Selain itu kurangnya pasokan darah akan menurunkan jumlah kelenjar pelumas sehingga dapat mengeringkan pita suara. Hal ini mengakibatkan lidah, bibir dan gigi berubah sehingga sulit membentuk kata-kata.

"Semakin tua maka jaringannya sudah lelah sehingga tidak bisa menjaga tegangan suara yang sama dan kapasitas paru-paru juga menurun. Pada usia 80 tahun kemungkinan volumenya hanya setengah dari usia 20 tahun," ujar Andrew McCombe, dokter bedah THT di Frimley Park Hospital, Surrey, seperti dikutip dari Dailymail, Selasa (27/4/2010).

Tapi ada beberapa hal bisa dilakukan untuk menjaga suara agar tetap sama seperti waktu muda. "Berlatih dan memastikan kapasitas paru-paru tetap tinggi dapat membantu menghasilkan suara yang kuat," ungkap Dr Ruth Epstein dari Royal National Ear, Nose and Throat Hospital di London.

Berikut ini beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menjaga agar suara tetap muda saat berusia senja nanti, yaitu:

1. Berbicara secara teratur
Menggunakan suara sangat penting. Kebanyakan orang tua kurang bergerak dan bersosialisasi sehingga mereka akan berbicara lebih sedikit. Padahal bersosialisasi dan menggunakan pita suara dengan optimal dapat membantu menunda penuaan.

2. Bernyanyi saat mandi dengan shower
Ini adalah salah satu cara terbaik untuk menjaga suara, karena membantu otot laring tetap kuat. Bernyanyi adalah salah satu bentuk senam suara. Selain itu kontrol serta koordinasi saraf otot diperlukan agar bisa menjaga suara tetap baik.

3. Jangan berteriak
Suara teriak akan merangsang pita suara dan membuatnya sulit untuk menutup dengan benar. Jika hal ini dilakukan berulang kali dapat memicu hilangnya suara dan munculnya nodul (sariawan). Hal ini tentu saja membuat pekerjaan dari laring semakin keras, sehingga menyebabkan otot kelelahan dan rasa tidaknyaman.

4. Menjaga gigi dengan baik
Bila seseorang kehilangan satu gigi, maka tulang rahang akan bergerak dan bentuk wajah mulai masuk ke dalam. Akibatnya otot-otot tidak bekerja dengan baik dalam hal berbicara.

5. Memperbaiki postur tubuh
Postur yang baik sangat penting untuk menjaga suara. Jika tubuh bungkuk menyebabkan seluruh sistem vokal berubah, mencegah bernapas secara dalam dan membuat pita suara bekerja lebih keras agar bisa menghasilkan suara.

6. Menghentikan kebiasaan merokok
Merokok bisa membuat bagian dalam laring menjadi kering dan menghentikan pita suara bekerja. Nikotin yang terkandung dalam rokok juga memperparah refluks lambung, sedangkan asap rokok dapat membuat bekas luka di pita suara yang menyebabkan kualitas suara menjadi serak parah.

7. Mengistirahatkan tenggorokan
Pita suara dapat tergores jika seseorang menggunakan suara saat sedang batuk yang parah atau buruk, karena itu usahakan untuk beristirahat selama 1-2 hari. Jika suara serak sudah terjadi lebih dari dua minggu, sebiknya mulai mencari bantuan medis.

Yang tak kalah penting adalah mengonsumsi cairan yang cukup untuk menjaga kelembaban laring. Serta hindari pula makanan yang pedas karena bisa mengiritasi dan membuat tenggorokan kering.

Tertawa Bisa Meningkatkan Nafsu Makan.

Apabila tidak punya waktu untuk berolah raga, sempatkanlah untuk tertawa. Dalam beberapa hal rajin tertawa bisa disamakan dengan rajin olah raga, karena efek yang dihasilkan hampir setara.

Dilansir dari Sciencedaily, Selasa (27/4/2010), sebuah penelitian pribadi pernah dilakukan pada tahun 1970-an oleh Norman Cousin, orang awam yang pernah merasakan manfaat tertawa. Ia menyimpulkan bahwa humor dan tawa bahagia bisa memperbaiki kesehatannya, dan kesimpulan tersebut dimuat di New England Journal of Medicine.

Dr. Lee S. Berk dari Loma Linda University, berkolaborasi dengan Dr. Stanley Tan tertarik untuk menindaklanjutinya. Sejak tahun 1980-an, mereka mengembangkan penelitian yang telah dirintis Cousin tersebut.

Hasilnya adalah, tawa terbukti mampu mengoptimalkan produksi hormon pada sistem endokrin. Kadar kortisol dan epinefrin berkurang, dan inilah yang menyebabkan stres berkurang. Tawa juga bisa meningkatkan sistem imun dengan memacu produksi antibodi.

Dalam penelitian tersebut mereka sekaligus memperkenalkan Laughercise, sebuah rangkaian tawa yang diklaim punya efek setara dengan olahraga ringan. Selain meningkatkan mood dan mengurangi hormon stress, Laughercise mampu meningkatkan sistem imun. Efek lainnya adalah menurunkan kadar kolesterol jahat (HDL) serta tekanan darah dan menaikkan kadar kolesterol baik (LDL).

Mempengaruhi Nafsu Makan

Baru-baru ini, Berk kembali meneliti efek tawa pada tubuh manusia. Kali ini ia mengajak rekannya di Loma Linda University, Dr. Jerry Petrofsky. Tujuannya adalah melihat pengaruh eustress (tawa bahagia) dan distress (perasaan susah) terhadap nafsu makan.

Dalam penelitian yang berlangsung selama 3 minggu ini, mereka melibatkan 14 orang relawan. Secara acak, partisipan dipertontonkan video berdurasi 20 menit dengan jeda masing-masing 1 minggu untuk menghilangkan efek video sebelumnya.

Untuk memunculkan efek distress, Berk memutarkan cuplikan dari 20 menit pertama film Saving Private Ryan. Sementara untuk eustress, relawan dibebaskan memilih video lucu apa saja sesuai selera humor mereka, dengan durasi yang sama yakni 20 menit.

Sebelum dan sesudah menonton video, tekanan dan sampel darah para relawan diamati. Dua hormon yang mempengaruhi nafsu makan yakni leptin dan ghrelin diamati dari serum yang telah dipisahkan dari sampel darah.

Dari pengamatan terhadap relawan yang menonton video distress, Berk tidak menemukan perubahan pada tekanan darah maupun kadar hormon. Sementara pada relawan yang menonton video eustress, tekanan darah dan kadar hormon berubah.

Perubahan tersebut adalah, kadar leptin turun sementara ghrelin meningkat. Menurut Berk, efek yang sama juga diperoleh ketika orang melakukan olahraga ringan yang disebut-sebut bermanfaat untuk meningkatkan nafsu makan.

Berk memang tidak menyimpulkan bahwa tertawa bisa meningkatkan nafsu makan. Namun menurutnya penelitian ini membuka kemungkinan untuk menemukan solusi pengatasan masalah nafsu makan, terutama bagi mereka yang tidak bisa rutin berolahraga.

Misalnya pada lansia, depresi dan kurangnya aktivitas fisik sering berdampak pada menurunnya nafsu makan. Hal ini sering memicu nyeri kronis, dan menurunnya kondisi kesehatan secara umum. Hal yang sama juga dialami janda atau duda yang baru saja ditinggal pasangannya.